RSS

Sastra Hijau: "REMEH" karya Dytrian Darmansyah

Orang bilang cinta itu Maha Daya, Maha Besar.
Cinta apa? Cinta kepada siapa? Urusan manusia dengan manusia adalah perkara egoisme belaka. Cinta-cintaan manusia itu, hanya kedua belah pihak yang mencinta saja yang merasa. Buatku cinta sesama manusia itu hal remeh. Yang bahkan ayam pun tak mau. Sedang cinta egoisku ini bertuan pada musuh alam semesta. Aku masih ingat betul satu percakapan dengan musuh alam semesta itu.

“Kamu mau kemana sayang?” remang Jakarta dini hari di sebuah apartemen di saat Adam memanggilku dengan panggilan sayang.
Sambil terus mengepak barang aku berkata. “Cianjur.”
“Kenapa? Ada apa disana?” tanya Adam kembali.
“Kamu masih tanya? Kampung bapakku setengah digusur oleh orang macam kamu!!” Jawabku tegas.
“Hahaha... Alina, ayo realistis! Kebutuhan kayu kita mencapai 350 meter kubik di tahun 2014 ini. Aku sudah lakukan regenerasi. Penanaman kembali di setiap lahan yang ku tebang, lisensi pemerintah sudah ku kantongi, kita tinggal menjalankan misi ini saja dan kita akan mengeruk keuntungan yang sangat besar.” Ujar Adam padaku.

Laki – laki yang sudah 6 tahun jadi pacarku itu membuat darah ku naik ke ubun-ubun. Nada suara ku meninggi. Jadilah kami orang setengah gila yang saling berteriak pada pukul tiga pagi.

“Bandingkan lisensi pemerintah sialan yang kau kantongi itu, dengan lahan yang kau babat habis dan uang yang kau sogok untuk mendapatkan lisensi itu! Kau yang seharusnya berpikir realistis! Keluarkan uangmu untuk memperbaiki lahan yang kau rusak, ekosistem tumbuhan, hewan yang kau rusak rantai kehidupannya! Mana bisa kau regenerasi itu semua, hah?!!” Ucapku dengan kesalnya.

Percakapan itu terhenti seperti terhentinya hubungan kami berdua. Sejak saat itu aku meninggalkan Adam beserta urusan busuknya. Dia adalah pewaris tahta perusahaan berbagai bidang yang merusak ekosistem alam. Kelapa sawit, kontraktor kayu, pabrik kertas, dan entah apa lagi.
Aku bergegas mengepak barangku. Tiga koper sudah tak habis-habis barang ini ku kemas. Sial!
Lalu sebuah tangan merengkuhku dari belakang.

“Enam tahun Aliana, Enam tahun! Kita akan akhiri enam tahun begini saja?”
Hal remeh ini lagi.
“Jangan kau kira aku tak mencintaimu, Adam. Tapi ayahku hilang di pedalaman Cianjur. Meniliti satu demi satu tumbuhan di hutan yang akan kau babat. Kalau bukan karena jurnal ayah yang kutemukan disembarang tempat, mungkin aku tak pernah tahu dosa besar macam apa yang telah kamu dan keluargamu buat.”
“Lantas apa aku boleh buat? Kebutuhan manusia semakin kompleks.”
“akan beda cerita kita kalau kau meregenerasi itu sejak awal. Mungkin jika sebelum kau lahir lahan-lahan yang kau rusak diregenerasi, kita bisa melihat pohon-pohon itu meneduhi kita. Kuberi kau waktu tiga tahun lalu. Lalu apa kau perbuat? Tak ada lahan yang jadi baik saat ini. Semua itu omong kosong!”
Mendadak aku tidak dalam suasana mengepak. Barang-barang kurasa sudah cukup. Kulepaskan tangan itu dengan kasar.
“Disana pintumu. Keluar!” Adam memandangku lama. Aku tak peduli lagi bahkan pada tatapan mata nya yang putus asa. Mendadak aku rindu ayah. Jika aku tak pergi, mungkin besok lusa lahan dimana sejarah terakhir tentang ayahku akan digusur orang macam Adam. Pohon-pohon ditebangi, berganti pabrik, regenerasi tak jadi, gedung-gedung makin tinggi, tak ada tempat lagi bagi tumbuhan. Pokok yang ayahku perjuangkan hingga hilangnya ia beserta sejarahnya. Aku kehilangan ayah demi sesuatu yang ia perjuangkan. Menjaga ekosistem tumbuhan yang otomatis akan menjaga ekosistem yang lain. Manusia, hewan, dan alam semesta. Maka kepergianku ke Cianjur adalah demi meneruskan apa yang ayah perjuangkan. Mungkin itu juga yang akan mengantarkanku menemukan ayah.

Pagi – pagi sekali aku menemui makam ibuku. Berpamitan dan memohon restu. Dengan hati yang patah sekaligus keyakinan dan mimpi yang menguatkan aku. Dengan batu nisan aku berdialog. Lalu pergi sebelum mencapai klimaks. Tangis kutahan, sebelum aku berubah pikiran. Aku baru tahu betapa sesaknya mencapai mimpi itu. Mimpi ku dan ayah.

Jadi disinilah aku sekarang.
Masih di hutan alami pedalaman Cianjur. Meneliti satu-satu lembaran jurnal yang jadi warisanku satu-satunya. Eksplorasi besar-besaran telah ku lakukan. Lewat media cetak, elektronik dan segala bentuk media untuk melakukan penyuluhan dan membuka selebar-lebarnya mata. Aku tinggal di rumah yang konon dulu milik Firman, tokoh konservasi Indonesia yang namanaya tak sempat masuk sejarah. Keburu hilang dimakan mimpinya sendiri. Ayahku.

Kadang aku masih merindukan hal remeh soal cinta-cintaan dengan Adam. Dia masih mau merajai seluruh hutan terkonservasi maupun tidak. Masih serakah dan tak melakukan apa-apa. Seperti cintaku yang masih. Tapi aku sama sekali tak menyesal. Aku rindukan ayahku.

Aku belajar banyak, banyak sekali. Tentang bagaimana manusia berkorelasi dengan alam, menjaga keberlangsungan hidupnya. Tentang alam yang menjaga keberlangsungan hidup manusia. Menyuplai oksigen dan menetralisir O2 menjadi udara layak hirup ditengah pencemaran dimana-mana.

Aku tahu antara aku dan Adam masih ada cinta yang dipisahkan keegoisan masing-masing. Tidak, tidak. Aku tak egois, aku hanya berusaha membersihkan dosa besarnya dengan membantu memperbaiki apa yang ia rusak. Aku tahu selama masih ada aku ditempat dimanapun lahan yang hendak ia habisi, ia tak akan berani. Jadilah aku berpindah-pindah sesuai proyek perusahaannya.

Ku curi-curi data tentang eksekusi lahan, ku datangi tempat – tempat rawan gusur. Ku pelajari karakter dan sikap tumbuhan. Mana rela mati ditebang, mana akan murka jika dimusnahkan. Sudah lima tahun aku melakukan pekerjaan gila. Di biayai pemerintah demi mendapat jawaban dariku. Tentang mana – mana saja lahan dan pohon yang memiliki sikap rela mati.

Pernah suatu kali mereka tak menurut apa kataku lalu bencana datang. Hutan bogor gundul, banjir Jakarta kian meninggi. Tempat – tempat tak biasa banjir kebingungan menghadapi air yang datang memberi kejutan. Pabrik – pabrik tutup sementara, pabrik kertas milik Adam salah satunya. Mereka kapok tak menuruti kataku. Ucapanku bak ucapan seorang Ibu yang kelak jadi do’a. Tak ada lagi pelebaran lahan kelapa sawit. Yang ada hanya bagaimana cara mengoptimalkan produksinya.

Jalanku tak semulus itu. Kadang aku harus dimusuhi orang berduit yang menyogok pemerintah yang kasih ijin membabat tanaman sana sini. Sesulit itu di Indonesia yang wilayah nya tidak sampat 10% wilayah dunia.

Lahan – lahan dibabat habis diganti gedung – gedung tinggi berkaca berbahaya. Tak ada kata membabat gedung – gedung dan menggantinya dengan perkebunan pohon – pohon. Tumbuhan juga punya rasa. Ia bisa mendengar dan bertindak. Apa perasaan mereka melihat komunitas nya digerus terus – terusan?

Lagi – lagi perkara manusia adalah hal keegoisan. Mereka tak akan memikirkan hal – hal yang tak ada sangkut pautnya dengan kepentingannya sendiri. Pernah suatu kali aku di demo oleh masyarakat di pedalaman hutan kalimantan.

Hutan itu bersinggungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit. Pelebaran lahan jadi masalah utama. Perusahaan kelapa sawit itu tahu betul kelemahan manusia. Mereka mencampur adukan kerusakan lingkungan dengan kesejahteraan yang diperlukan halayak. Masyarakat mau menyetujui perluasan wilayah kelapa sawit demi perut mereka dan anak – anak yang lapar.
“Lalu apa kau bisa memberi kami makan sampai anak – anak kita besar?” ucap seorang kepala dusun langsung menuju ulu hatiku. Pertanyaan yang sama kuajukan juga pada diri. Aku tak cukup ilmu dan waktu. Waktuku tak banyak mencari solusi. Uangku tak cukup memberiku modal. Aku pergi dari perkampungan itu dan mencari banyak uang untuk membeli sejumlah babi, kerbau dan hewan ternak lainnya. Siang malam menjajakan proposal. Hingga terkumpul uangku.
Kubeli beberapa babi dan kerbau, kubuatkan kandang dan ilmu merawat hewan ternak. Beberapa masyarakat tak patuh solusiku. Penghasilan dari hewan ternak tak cukup membuat kenyang anak – anak dusun yang kepalang banyak. Dan sikap manusiawi yang tak pernah puas hanya dari hasil hewan ternak bergotong royong melakukan permohonan perluasan wilayah kepada pemerintah. Suasana jadi kacau ketika dihadapkan pada orang – orang lapar. Aku kehabisan ide.

Suatu sore kepala dusun menangkapku tengah merenung di aliran sungai. Mencari – cari ide sampai ke sela – sela otak terkecil. Aku tak pernah sedekat ini bertatapan langsung dengan pria menuju tua itu, dibalik kelopak tebal matanya, kumis putih dan rambut ikal sebahunya dia bermata teduh. Gerak geriknya menenangkan, mencerminkan seorang ayah. Aku jadi ingat lagi pria miliku yang seperti ini.
“kita memang tidak bisa memaksakan apa dimau.” Aku masih dengan posisi yang sama merasakan atmosfir seorang ayah.
“aku bukan tak sadar tentang kehidupan semesta. Dulu ada pria setuaku, badannya tegap. Dia teman baikku. Pekerjaannya sama sepertimu. Hidup berdampingan dengan alam. Tapi sekarang entah dimana.” Aku masih hanyut dan menunggu kalimat – kalimat berikutnya.
“Dia anak sebatang kara, pergi dari panti asuhan di pulau jawa. Dan kemari tanpa ilmu. Dulu alam kita tak sepeti ini. Kebun kelapa sawit belum sampai daerah sini. Masih hanya beberapa petak. Tapi manusia – manusia kota melihat lahan ini bak tambang emas. Mereka sadar bahwa lahan ini sumber kekayaan, keuasaan mereka. Diperluaslah perkebunan kelapa sawit ini. Sedangkan saya melihat hal itu bukan sesuatu yang bagus.” Dia menyalakan cerutu keduanya.
“tapi apa daya, saya tak punya alasan logis untuk menolak dan menghimbau desa. Akhirnya saya cerita soal kekhawatiran pada anak rantau itu. Semangatnya tinggi sekali. Dia pergi berbulan – bulan dan kembali dengan setumpuk buku dan segenggam ilmu. Suatu malam dia mengumpulkan warga desa, dengan gambar warna warni dia menjelaskan resiko – resiko perluasan lahan. Sampai akhirnya semua penduduk dusun sepakat untuk mendemo penolakan. Perluasan lahan berhasil di gagalkan. Anak rantau sebatang kara itu akhirnya saya jadikana anak, semua masyarakat dusun menghormatinya. Waktu itu umurnya baru duapuluhdua. Masa depannya seharusnya masih panjang. Apalagi dengan otak secemerlang dan semangatnya sepert itu tidak heran Firman dapat kerja di Papua.”
“Papua??” aku sekarang baru sadar orang yang ia biacarakan adalah ayahku. Seumur hidup dia jadi ayahku, aku tak pernah tahu kakinya pernah ada disini. Lalu jejaknya pergi menuju Papua.
“Iya, Papua. Kerja di pertambangan. Dia bilang akan sambil pelan – pelan memperbaiki rusaknya lingkungan akibat pertambangan adi daya itu. Mencari ilmu bilangnya.”
Cerutu itu ia hisap pelan – pelan demi mengulur waktu. Tembakau disini sangat berharga. Waktu diukur dengan satu dua batang rokok. Bertemu sapa di warung kopi perbatasan kampung. Melihat harga diri dari rokok. Ketika pria – pria yang kebanyakan sudah beranak itu menghabiskan satu bungkus rokok saat itu juga, pertanda dia sedang banyak duit. Baru gajihan atau menang judi. Semakin sedikit rokok yang mereka habiskan, semakin kita tahu kemapanan ekonomi mereka.
“tapi sekarang Firman sudah tak pernah kembali ke kampung. Dia membekali kami tentang resiko – resiko perusakan alam, tapi tidak cukup memberi ilmu tentang perubahan jaman, kenaikan harga dan kenaikan nafsu konsumtif manusia. Masyarakat yang beranak pinak itu beranak lagi. Regenerasi. Orang – orang dulu sudah mengikuti orang – orang sekarang. Orang – orang tua tidak punya pakem. Sama halnya dengan saya. Idealisme anak laki – laki pungutan saya melonggar. Perut – perut lapar lebih nyaring kedengaran dibanding setumpuk ilmu yang di amalkan. Sulit, nak.”
Aku mengilhami betul kata – kata kepala dusun ini. Sulit. Ya sangat sulit membuat orang – orang tetap sadar bahwa ekosistem dunia perkara tumbuhan sangat berkorelasi dengan keberlangsungan hidup umat manusia. Kalau bencana sudah dimana – mana, kemana kita bisa pulang?

Sambil aku mengeluarkan setumpukan kertas buram dengan banyak warna. “ya, semua orang berpegangan pada perut – perut lapar, tembakau dan keserakahan. Dulu aku diajarkan ayahku mencintai alam seperti mencintai anak sendiri. Meskipun rahimku belum mengeluarkan sekepala anak yang ku kandung, tapi kasih sayang ayah pada anaknya sangat kurasakan benar – benar.” Kepala dusun itu setenga menganga. Matanya menelanjangi kertas – kertas yang kupegang.
“Pak....” setengah meraung aku berkata – kata.
“apa bisa diperbuat jika manusia tak lagi mencintai alamnya seperti anak sendiri. Apa bisa diperbuat jika ternyata seorang ayah lebih mencintai perutnya yang lapar ketimbang alam yang katanya seperti anak?”
Lalu yang kuingat kepala dusun itu menatapku lama. Matanya berkaca, cerutunya jatuh. Dan yang kutahu dia pergi dengan malu.
Bagaimana tidak, jika aku jadi dia, akupun malu. Panjang lebar menceritakan soal anak pungut kebanggaannya. Lalu keteguhannya luntur seirama dengan hilangnya laki – laki bernama Firman. Kepala dusun itu yang mengajarkan ayahku tentang pentingnya lingkungan, hingga ayahku berlari sejauh ini. Kepala dusun adalah pakem ayahku. Tapi apa mau berbuat jika pakem ayahku pun sudah melonggar dari pegangannya. Jika raga ayahku masih terlihat sekarang, apa ayah juga akan melonggar dari pegangannya seperti kepala dusun itu? Berlama – lama aku merenung tak juga kutemukan ide. Masyarakat dusun tetap banyak menolak memelihara ternak. Kesejahteraan duniawi yang diberikan perusahaan sawit itu mengalahkan kesejahteraan rohani jangka panjang.
Esoknya aku pulang dengan kekalahan. Kubeli lagi beberapa babi sebagai haidah pada beberapa masyarakat yang mengikuti arahanku.
Aku kembali kesini, delapan bulan lalu. Kemanapun kakiku melangkah, jalanku pulang adalah kesini. Cianjur. Dua bulan setelah kepulanganku perluasan lahan sawit sesuai rencana. Beberapa bulan berselang, kampung yang pernah kuinjak tanahnya sekarang rata dengan tanah. Tergerus banjir bandang. Pemerntah melakukan investigasi palsu, mencari alasan pura – pura. Mengalihkan sebab dari perluasan kelapa sawit ke tanggul yang sengaja dirobohkan sebagai kambing hitam alasan banjir bandang.

Aku pergi kemanapun proyek pembanyaian lahan dan perusakan lingkunga terjadi. Berdialog dengan satu – persatu pohon, mempertimbangkan perasaannya dan menyelidiki resikonya. Terutama proyek – proyek adi daya kerajaan perusahaan adam. Selama kakiku masih menginjak tanah dimanapun proyek hendak dilakukan, aku tahu Adam tak akan berani berbuat. Menjadi kuat kadang terlalu melelahkan.

Kita tak selalu menang, dan aku sering kalah. Mungkin nilai kemenanganku terlalu tinggi. Aku baru akan menang ketika manusia cukup puas dengan apa yag sudah mereka rusak hari ini. Tak perlulah regenerasi jika pembantaian ekosistem, pencemaran udara, penebangan pohon dengan jumlah yang konsisten. Tanggung jawab dan amanah ayahku akan lebih mudah dijalani. Aku lelah dan terlalu kecewa terhadap semua yang telah ayah dan aku usahakan selama ini. Maka aku hanya akan hidup sederhana, dengan tanggung jawab maha daya, wujud cinta maha besar terhadap yang telah kita miliki saat ini. Mengeyampingkan hal – hal remeh yang menyinggung jalanku. Cinta maha daya sekarang bertuan pada alam semesta, sedangkan cinta adam dan hawa biarlah semesta punya rencana tentang bagaimana sepasang mata bisa saling menemukan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

APA ITU SENI ?

"Seni adalah ungkapan perasaan", demikianlah pernyataan yang sering kita dengar tentang seni. Jika kita renungkan, sesungguhnya ungkapan tersebut memiliki kebenaran. Karena seni itu sendiri memang merupakan ungkapan dari pengalaman-pengalaman bathin. Pengalaman itu kemudian dituangkan melalui berbagai medium seni, yang akhirnya kita nikmati sebagai sebuah karya. Dalam dunia seni rupa, medium ini terungkap menjadi lukisan, patung, grafis, krya serta karya-karya lainnya.
Bagi seorang seniman, berkarya merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Berkarya adalah menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul, baik permasalah yang ada di dalam diri sendiri, maupun berbagai permasalahan yang ada di luar diri. Keinginan-keinginan untuk memecahkan permasalahan itulah yang menyebabkan seorang seniman berkarya. Berbagai permasalahan yang muncul, baik dalam diri maupun yang berada diluar diri, kemudian dialami seniman menjadi sebuah pengalaman bathin. Pengalaman bathin ini selanjutnya berubah menjadi sebuah angan-angan. Akhirnya dengan daya indah yang ada pada seorang seniman, berbagai angan yang ada, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya seni melalui medium seni yang dipilihnya sendiri.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa pada dasarnya setiap bentuk karya seni memuat unsur-unsur budaya, karena ia memang terlahir dari keinginan seorang seniman untuk merespon berbagai gejala yang timbul. Baik yang terdapat didalam dirinya sendiri maupun gejala yang berkembang diluar dirinya, atau dalam lingkungannya. Selanjutnya dengan menggunakan berbagai ungkapan yang dipilih seniman sebagai pengandaian lahirlah sebuah potret tentang kebudayaan. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah potret seperti apakah yang ditampilkan seniman dalam menangkap gelora budaya yang terjadi di sekitarnya. Kemudian pengandaian seperti apakah yang dipilih seniman dalam mengungkap berbagai gelora kebudayaan tersebut. Permasalahan dapat disigi dengan menggunakan pendekatan proses cipta seniman dan telaah karya tentang potret kebudayaan serta permasalahannya.
Pekerjaan mencipta merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk menemukan sesuatu yang baru. Hurlock dalam Utami (1988: 2-3) mengatakan bahwa kreatif adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru. Sedangkan Erich Fromm, ahli teori analisis ilmu jiwa dalam bukunya berjudul "The Creative Attitude "¦ mengatakan bahwa : Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk melihat ( menyadari, bersikap peka ) dan menanggapi Chandra (1994: 12).
Lebih lanjut, Rogers dalam Utami (1988: 3) mengatakan bahwa; "Kreatif merupakan munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu disatu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya dipihak lain"?. Dalam pernyataan ini Rogers menekankan bahwa lingkungan merupakan faktor penting dalam proses kreativitas. Lingkungan ikut memberikan andil terhadap karya jalan fikiran seseorang. Dengan demikian karya-karya yang bermula dari proses kreasi, adalah juga hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Seorang seniman dapat pula disebut sebagai kreator, karena ia selalu berkarya, dan selalu mencari sesuatu yang baru. Karya seni lahir melalui sebuah proses cipta yang terjadi di dalam diri seorang seniman. Proses ini diawali dengan munculnya keinginan-keinginan yang melanda diri seniman. Keinginan-keinginan ini muncul karena dorongan yang dating dari dalam diri sendiri maupun dorongan yang datang dari luar. Selanjutnya, keinginan-keinginan yang telah mendapat dorongan tersebut diolah seniman, dengan menggunakan daya estetis yang dimilikinya.
Setiap orang pada dasarnya memiliki daya cipta, namun dalam kenyataannya belum semua orang dapat memanfaatkan daya tersebut. Karena daya cipta itu perlu pula mendapat dorongan, berupa hal-hal yang dapat menimbulkan minat untuk melakukan ciptaan.
Utami (1988: 21) mengatakan bahwa untuk menimbulkan minat kreasi, maka dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu, baik kondisi-kondisi eksternal (dari lingkungan dalam arti kata sempit dan luas, mencakup kondisi sosio-kultural dan politis) maupun kondisi-kondisi internal (pribadi, dalam diri individu) agar dapat muncul, tumbuh dan terwujud menjadi karya-karya kreatif yang bermakna uuntuk individu dan masyarakatnya, kebudayaannya.
Daya cipta seseorang sangat dipengaruhi oleh dorongan yang dimiliki oleh masing-masing diri. Semakin tinggi dorongan yang dimilikinya, maka besar kemungkinan akan diperoleh daya cipta yang tinggi pula. Utami Munandar (1988: 1) menyimpulkan bahwa " Kreativitas merupakan ungkapan unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau perilakunya"?.
Lingkungan bathin, yaitu bakat yang memang telah dimiliki oleh seorang seniman sebagai kodratnya, atau sebagai anugerah dari Sang Pencipta. Kemudian lingkungan budaya, dimana seorang seniman telah tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan tersebut, serta lingkungan luar sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi secara lebih luas.
Selanjutnya proses mencipta juga dipengaruhi oleh keterampilan yang dimiliki oleh seorang seniman. Kemampuan melakukan, baik yang bersifat cara mengerjakan, penguasaan pokok permasalahan, atau apa yang akan dikerjakan, maupun penguasaan bahan dan alat yang digunakan dalam berkarya. Penguasaan keterampilan dan penguasaan pokok persoalan serta penguasaan bahan yang baik dapat memberikan keleluasaan kepada seniman untuk melakukan berbagai kemungkinan dalam berkarya cipta.
Sebagaimana yang dikemukakan Lowenfeld (1956: 81) bahwa: bahan yang bagus dan perkembangan keterampilan memegang peranan penting dalam mengekspresikan seni. Hanya melalui penggunaan bahan seni, ekspresi-ekspresi dapat berkembang. Seperti kata-kata amatlah penting dalam komunikasi lisan dan struktur kalimat serta paragraf penting dalam komunikasi tulisan, dalam seni, seorang seniman harus mengembangkam keterampilan-keterampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan untuk berkomunikasi, dan dia harus mempunyai pemahaman tentang bahan-bahan yang dia gunakan supaya bisa menggunakan kualitas instrinsiknya.
Dorongan lain yang tidak kalah penting adalah tanggapan dan penghargaan, yang datang dari lingkungan seni. Yang dimaksud lingkungan seni disini ialah masyarakat yang menikmati karya seni. Tanggpan dan penghargaan ini dapat diperoleh seniman melalui pameran-pameran yang dilaksanakan. Jumlah pengunjung pada setiap pameran dapat memberikan dorongan yang baik bagi seniman dalam menunjang semangat berkarya cipta. Dengan kata lain, sebuah pameran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kegiatan yang berguna bagi peningkatan karya cipta seorang seniman.

Pembahasan
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, bahwa proses cipta seni sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Baik lingkungan bathin, budaya, serta lingkungan luar seniman. Maka sudah dapat dipastikan bahwa semua pengaruh tersebut akhirnya terhimpun bersamaan dengan daya estetis, yang akhirnya menjadi sebuah karya seni.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang seniman adalah anggota kelompok dari sebuah masyarakat. Sebagai seorang anggota kelompok masyarakat, maka ia hidup dalam tatanan nilai ataupun kaidah yang berlaku pada kelompok tersebut. Seseorang yang berasal dari kelompok masyarakat Jawa, tentulah memiliki tatanan nilai kebudayaan Jawa sebagai panduan hidup bermasyarakatnya. Begitu pula bagi anggota masyarakat Minangkabau, mereka akan hidup dalam tatanan kebudayaan Minang yang memiliki falsafah "alam takambang jadi guru". Jadi, setiap anggota kelompok suatu masyarakat, selalu berpegang kepada nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. Selanjutnya secara bersama-sama atau mereka menjaga dan bahkan membuat sebuah kerangka kebudayaan sebagai jaminan dalam menata gelora perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Guna menjaga proses gelora kebudayaan inilah seniman sebagai salah seorang anggota masyarakat ikut berperan melalui karya-karyanya. Ia bertanggung jawab atas berbagai gelora yang terjadi dalam lingkungannya. Karena pada dasarnya setiap bentuk kesenian selalu memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi kelangsungan gelora kebudayaan dan hidup manusia. gelora budaya inilah yang merupakan salah satu unsur yang melanda seniman, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan untuk berkarya.
Seniman dapat saja memberikan sebuah pernyataan tentang penolakan atau penerimaan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku. Namun demikian, bukan berarti seorang seniman harus mampu memutuskan berbagai gelora yang muncul sebagai sesuatu yang harus ditolak atau diterima. Adakalanya seorang seniman cukup hanya dengan mengetengahkan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya. Selanjutnya melalui karya seni, berbagai gelora budaya tadi akan sampai kepada masyarakat melalui sebuah pameran. Pada saat inilah akhirnya terjadi cengkerama antara seniman dan masyarakat seni. Selanjutnya permasalahan yang sedang di alami oleh seorang seniman menyangkut gelora yang sedang berlaku di masyarakat telah berubah menjadi permasalahan bersama antara seniman dan masyarakatnya.
Senada dengan apa yang dikatakan Utami (1988: 19) bahwa berfikir bebas adalah kreasi yang bebas dari hambatan apapun. Bebas dari segala macam praduga dan streotip. Pada saat ini setiap individu memperoleh berbagai kemungkinan untuk menemukan sesuatu. Masing-masing individu memiliki kesempatan untuk menelusuri berbagai arah yang ada dalam fikirannya. Bahkan mereka mendapatkan peluang untuk menjajaki berbagai alternatif yang muncul. Keadaan inilah akhirnya yang menimbulkan berbagai penemuan baru. Apakah berupa ide-ide baru, ataupun bentuk-bentuk baru, dan lain sebagainya.
Lebih jauh Jakob (2000: 47) mengatakan bahwa sebuah benda seni disebut sebagai seni kalau sudah berada di tangan penanggap seni. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai. Sebuah benda akan disebut seni kalau melahirkan relasi seni berupa munculnya nilai dari benda tersebut. Selanjutnya Jakob (2000: 73) menjelaskan bahwa dalam seni, perasan harus dikuasai lebih dahulu, harus dijadikan objek, dan harus diatur, dikelola, dan diwujutkan atau diekspresikan dalam karya seni. Istilah populernya "perasaan harus diendapkan dahulu". Perasaan itu telah berjarak dengan seniman. Dan, dalam kondisi semacam itu, barulah seniman dapat mengekspresikan perasaannya. Sebab ekspresi perasaan dalam seni hanya dapat terjadi dalam suasana perasaan "sekarang" yang santai, bahkan dalam suasana kegembiraan mencipta.
Dari beberapa uraian diatas dapat kita rangkum, bahwa proses cipta karya seniman selalu beranjak dari pengalaman bathin, yang diperoleh melalui lingkungan, baik lingkungan bathinnya sendiri, maupun lingkungan budaya, dan lingkungan secara keseluruhan. Keadaan seperti ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman prasejarah. Patung-patung menhir yang terdapat di Sumatera Utara, atau patung-patung peninggalan zaman megalitikum yang sekarang dapat kita saksikan di kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah bagian dari potret kebudayaan yang dituangkan melalui medium seni.
Haris Sukendar (1987: 54) mengatakan bahwa arca-arca yang ditemukan di Nias dan Pasemah, menunjukan bukti-bukti bahwa arca tersebut menggambarkan tokoh yang berkuasa atau tokoh yang terkemuka dalam masyarakat. Arca-arca tersebut hanya merupakan lambang atau simbul dari ketua adat atau tokoh yang dimaksud. Masih sulit dikatakan bahwa arca yang bertujuan sakral lebih mementingkan tujuan dan kepercayaan saja tanpa mengabaikan keindahan semata-mata, sedang arca yang digunakan sebagai lambang atau status kepala adat, bentuk-bentuk yang lebih megah dengan keindahan sempurna memegang peranan penting.
Pada zaman berikutnya, yaitu pada masa kebudayaan agama Hindu-Budha di Indonesia, terdapat bangunan candi yang dibuat dengan sangat megahnya. Candi-candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan potret kebudayaan untuk masa Hindu-Budha di Indonesia. Bahkan Borobudur merupakan puncak dari seni bangun kebudayaan Hindu-Budha di dunia. Borobudur merupakan maha karya yang mengungkap tentang kesatuan manusia dalam sebuah tatanan hidup. Sebuah tatanan hidup yang dipandu oleh nilai-nilai budaya yang berkembang pada masa itu. Nilai-nilai tersebut kemudian dinyatakan dalam sebuah seni bangun.


Candi Borobudur di Jawa Tengah Kesatuan kebudayaan mencerminkan integrasi manusiaManusia merupakan kesatuan (per se), segala ciptaannya bercirikan kesatuan pula. Kesatuan manusia tidaklah sempurna. Dia selalu ada dalam jalan integrasi diri yang semakin utuh. Ujud pemersatuan diri selaku makhluk psychoorganis tidak pernah selelsai. Oleh sebab itu keseimbangan tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Bakker (1984: 83).
Candi Borobudur dapat dilihat sebagai ungkapan dari keselarasan hidup masyarakatnya. Keselarasan terpancar dari ungkapan seni bangunnya. Borobudur terdiri bentuk-bentuk yang tersusun secara bertingkat atau berundak-undak. Pengulangan bentuk terdapat pada bentuk stupa yang disusun mulai dari bawah sampai ke undakan paling atas. Pada bagian paling atas terdapat sebuah stupa besar. Stupa ini merupakan pusat atau inti dari semua stupa yang ada. Stupa besar tersebut terletak pada titik pusat bagian atas dari candi. Dari sisi semiotika, keberadaan stupa utama tersebut memiliki makna tersendiri, yang erat hubungannya dengan daya-daya yang berada di luar alam kodrati.


Kontras antara industri dan adat perjalanan tradisional di India
Gambaran di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang janggal antara kemajuan teknologi dengan kendaraan yang digunakan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Latar belakang dari karya fotografi di atas memperlihatkan teknologi yang sudah maju. Sementara di latar depan terlihat beberapa orang yang dalam perjalanan dengan menggunakan unta sebagai kendaraan. Suasana yang sangat kontras terlihat dengan jelas antara kemajuan teknologi yang dicapai dengan kendaraan yang digunakan. Dari satu sisi, dapat saja orang menggunakan unta untuk keperluan rekreasi, atau sekedar bernostalgia. Di sisi yang satunya lagi, bisa saja kendaraan unta memiliki nilai-nilai khusus bagi seseorang atau sekelompok orang. Namun di sisi lain kenyataan ini juga mengungkap bahwa belum semua orang dapat menikmati kemajuan teknologi. Akhirnya, apapun penafsiran yang akan dikemukan tentang kenyataan ini, namun yang pasti, melalui karya seninya, seniman telah menyuguhkan sebuah persoalan untuk dipahami oleh masyarakat.


Gubug-Gubug di London karya G. DoreKarya lukis yang digubah oleh G. Dore ini bercerita tentang kemajuan ilmu dan teknologi yang telah dicapai, khususnya bagi masyarakat kota London, Inggeris. Namun kemudian kemajuan tersebut membawa dampak yang kurang baik terhadap kehidupan bermasyarakat. Dengan kemajuan teknologi, orang mampu membangun gedung-gedung yang megah, membuat pesawat terbang dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain ternyata keadaan ini berakibat terhadap meningkatnya jumlah pengangguran. Sehingga pada gilirannya masyarakat kelas bawah menjadi semakin terhimpit, bahkan mereka kehilangan lahan untuk tempat tinggal. Akhirnya mereka mendirikan gubug-gubug sebagai tempat berlindung di sisi bangunan megah hasil teknologi maju tersebut.
Kesenjangan hidup inilah yang ditampilkan seniman dalam karyanya. Kesenjangan ini digubah sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pokok dalam berkarya, bagian-bagian terkecilpun ditampilkan oleh seniman dengan sangat cermat. Selanjutnya karya lukis ini mencoba mengajak pemirsanya untuk memahami arti kemajuan secara lebih dalam. Apa sesungguhnya makna kemajuan bagi keselarasan hidup manusia pendukung kebudayaan.
Dalam mengungkapkan keinginan serta pengalamannya , seniman memanfaatkan berbagai macam bentuk pengandaian. Pilihan seorang seniman terhadap pengandaianyang digunakan sangat bergantung kepada kecendrungan dan gaya masing-masing seniman. Namun demikian, semua pengandaian yang dilahirkan seniman merupakan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu sesuai dengan pengalaman masing-masing seniman dalam merespon berbagai fenomena yang terjadi disekitarnya. Sebagaimana pengandaian yang ada dalam bidang seni suara atau seni sastra, maka dalam seni rupa pengandaian ini menjadi lebih nyata. Hal ini disebabkan karena seni rupa itu sendiri merupakan sebuah cara ungkap yang menggunakan bahasa rupa. Pada seni bangun sebagaimana yang telah diungkap pada bagian terdahulu terlihat bahwa struktur bangunan yang diciptakan merupakan gambaran dari keselarasan yang terdapat dalam masyarakat. Keselarasan ini ini kemudian diungkapkan sang arsitek melalui struktur bangunan yang tertata dengan baik. Bangunan tersebut merupakan simbol dari nilai yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat pada masa-masa tertentu. Begitu pula dengan bangunan-bangunan megah yang dideretkan bersamaan dengan gubug-gubug yang digambarkan oleh G. Dore dalam karyanya, Dore memilih objek bangunan yang megah dan gubuk sebagai pengandaian dari kesenjangan sosial yang terjadi akibat kemajuan ilmu dan teknologi.

Simpulan
Seni merupakan ungkapan pengalaman bathin yang dituangkan seniman melalui media ungkapnya. Sebagai sebuah pengalaman bathin, seni selalu hadir dengan muatan nilai yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia dan alam semesta.
Seni rupa sebagi sebuah media ungkap, berbicara dalam bahasa rupa. Ia hadir dengan berbagai bentuk pengandaian, sesuai dengan pilihan dan daya keindahan seorang seniman. Salah satu bentuk nilai yang terdapat dalam ungkapan seni adalah kebudayaan. Seni merupakan ungkapan dari cerminan cipta, karsa dan rasa manusia. Seni merupakan potret kebudayaan yang selaras dengan ruang dan waktu yang dilaluinya. Melalui karya seni kita dapat memahami gelora budaya yang terjadi, baik pada waktu lalu, sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Semua itu dikemas seniman dalam sebuah bingkai keindahan yang disebut dengan karya seni.

Daftar Bacaan :
Bakker SJ, JWM. 1984. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta; Kanisius.
Haris Sukendar.1987. Konsep Keindahan pada Peninggalan Megalitik. dalam: Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Diskusi Ilmiah Arkeologi II ); Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Lowenfeld, Viktor. 1956. Creative and Mental Growth. Rev.ed. Nem York. The Macmillan Company.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung; Penerbit ITB
Suwono, Bambang. 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Jakarta; Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Utami Munandar. SC. 1988. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kreativitas. Dalam Kreatiftas Sepanjang Masa (Utami Munandar. SC. Ed). Jakarta; Pustaka Sinar harapan.
Biodata Penulis:
Syafwandi, Lahir di Payakumbuh 24 Juni 1960. S1 Pendidikan Seni Rupa (1985), mengikuti pendidikan Seni Patung dan Furniture di Jepang (1994 "“1996) S2 Jurusan Seni Rupa ITB Bandung.
http://jauharieffendy.blogspot.com/2008/08/apa-itu-seni.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KISAH CINTA YANG BERAKHIR DENGAN KEMATIAN

Teman-teman….apa itu cinta? Sebuah kata yang sangat fenomenal tidak hanya dari segi rasa, namun  mencakup segala aspek kehidupan. Banyak orang mengagung-agungkan cinta dan mungkin ada di antara temen-temen pembaca salah satunya. 
Bahkan ada yang rela mati karna cinta! Seperti kisah dramatis antara Romeo dan Juliet. Banyak yang mengatakan bahwa cinta tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata namun hanya bisa dirasakan. Tapi faktanya, kenapa banyak orang berteori tentang cinta? Dan juga mengapa banyak orang belajar bagaimana mengungkapkan cinta.

Itu pula yang ingin disampaikan oleh Teater Sangkala di usianya yang menjelang 7 tahun, yang tak seharusnya di usia yang masih menginjak masa belajar harus memulai belajar tentang hakikat Cinta, apalagi mengaplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Namun Cinta boleh rasanya kami mulai merasakan dan kami pelajari dalam kehidupan ini, tentang hakikat manfaat dan juga akibat yang ditimbulkan, agar dikemudian hari kami tau dan kami mampu bersikap tentang apa yang kami temukan.

CINTA KATUNGKUL KU PATI adalah sebuah Judul Naskah Drama Basa Sunda yang ditulis secara apik oleh Ayi Goblay Sasmita. Naskah itu yang nanti akan dipentaskan oleh Teater Sangkala di Bulan Maret 2014. Cinta Katungkul Ku Pati atau dalam Bahasa Indonesia berarti Cinta Tertundukkan oleh Kematian merupakan sebuah naskah yang apik, kental dengan budaya Sunda, Setting dan artistik yang disuguhkan adalah perkampungan di sunda, juga terlihat dari karakter tokoh-tokoh yang menggambarkan sekali bagaimana orang sunda pada umumnya. Yang mengetengahkan kehidupan para Jawara yang saling berselisih paham, adanya budaya Pencak Silat yang amana adalah seni bela diri asli Sunda, hadir juga tokoh wanita sunda yang selalu taat dan sungkem terhadap keluarga, suami dan anak, juga kekonyolan kekonyolan ajudan ajudan Jawara yang sangat mencerminkan sekali karakter orang sunda yang humoris, juga tokoh Asep dan Mumun yang muncul sebagai tokoh sentral, dimana Cinta mereka harus kandas karena adanya rahasia masa lalu dari kedua orang tua mereka yang menjadikan mereka harus menelan pahit takdir hubungan mereka.

Akankah Cinta Asep dan Mumun dapat dipertahankan ataukah kematian yang menjadi jalan terakhir bagi kehidupan mereka?

Saksikan kami Teater Sangkala dalam Pementasan Drama Basa Sunda Produksi ke 13 dengan membawakan Judul "Cinta Katungkul Ku Pati" Karya Ayi Goblay Sasmita Sutradara Aprilif Firmanto, yang akan digelar pada tanggal 7-8 Maret 2014 di gedung Dewan kesenian Cianjur (DKC) jalan Suroso 46 Cianjur. Pementasan ini dalam rangka menjembatani Teater Sangkala menuju Pementasan di Bandung, yakni sebagai Peserta dari Kabupaten Cianjur dalam perhelatan acara Festival Drama Basa Sunda ke XIII yang digelar oleh Kelompok Teater Sunda Kiwari pada tanggal 14 April - 4 Mei 2014 di Gedung Rumantang Siang Jalan Baranangsiang No. 1 Kosambi, Bandung.

Pementasan ini didukung oleh beberapa aktor dan aktris dari Teater Sangkala juga dari Sahabat Sangkala di antaranya : Odit, Azhar, Arifal, Ucup Waras, Michell, Mike, Wulan, Mahendra, Adel, Boring, dan Kelek Haurwangi serta di belakang layar, untuk Artistik dibantu oleh Kang Oket, Kang Ketut dan Kang Fauzi, untuk Pemusik ada Kang Batok, Ajay, Asep Lukman, Lighting Amee Make Up dan Kostum Dytrian dan Yanto, serta Pembuka oleh Kelompok Musik Bambu Karinding Sarekat dan Sekar dari Cipanas.

Semoga acara ini berjalan dengan lancar dan sesuai harapan kami. (*yw

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS