RSS

Sastra Hijau: "REMEH" karya Dytrian Darmansyah

Orang bilang cinta itu Maha Daya, Maha Besar.
Cinta apa? Cinta kepada siapa? Urusan manusia dengan manusia adalah perkara egoisme belaka. Cinta-cintaan manusia itu, hanya kedua belah pihak yang mencinta saja yang merasa. Buatku cinta sesama manusia itu hal remeh. Yang bahkan ayam pun tak mau. Sedang cinta egoisku ini bertuan pada musuh alam semesta. Aku masih ingat betul satu percakapan dengan musuh alam semesta itu.

“Kamu mau kemana sayang?” remang Jakarta dini hari di sebuah apartemen di saat Adam memanggilku dengan panggilan sayang.
Sambil terus mengepak barang aku berkata. “Cianjur.”
“Kenapa? Ada apa disana?” tanya Adam kembali.
“Kamu masih tanya? Kampung bapakku setengah digusur oleh orang macam kamu!!” Jawabku tegas.
“Hahaha... Alina, ayo realistis! Kebutuhan kayu kita mencapai 350 meter kubik di tahun 2014 ini. Aku sudah lakukan regenerasi. Penanaman kembali di setiap lahan yang ku tebang, lisensi pemerintah sudah ku kantongi, kita tinggal menjalankan misi ini saja dan kita akan mengeruk keuntungan yang sangat besar.” Ujar Adam padaku.

Laki – laki yang sudah 6 tahun jadi pacarku itu membuat darah ku naik ke ubun-ubun. Nada suara ku meninggi. Jadilah kami orang setengah gila yang saling berteriak pada pukul tiga pagi.

“Bandingkan lisensi pemerintah sialan yang kau kantongi itu, dengan lahan yang kau babat habis dan uang yang kau sogok untuk mendapatkan lisensi itu! Kau yang seharusnya berpikir realistis! Keluarkan uangmu untuk memperbaiki lahan yang kau rusak, ekosistem tumbuhan, hewan yang kau rusak rantai kehidupannya! Mana bisa kau regenerasi itu semua, hah?!!” Ucapku dengan kesalnya.

Percakapan itu terhenti seperti terhentinya hubungan kami berdua. Sejak saat itu aku meninggalkan Adam beserta urusan busuknya. Dia adalah pewaris tahta perusahaan berbagai bidang yang merusak ekosistem alam. Kelapa sawit, kontraktor kayu, pabrik kertas, dan entah apa lagi.
Aku bergegas mengepak barangku. Tiga koper sudah tak habis-habis barang ini ku kemas. Sial!
Lalu sebuah tangan merengkuhku dari belakang.

“Enam tahun Aliana, Enam tahun! Kita akan akhiri enam tahun begini saja?”
Hal remeh ini lagi.
“Jangan kau kira aku tak mencintaimu, Adam. Tapi ayahku hilang di pedalaman Cianjur. Meniliti satu demi satu tumbuhan di hutan yang akan kau babat. Kalau bukan karena jurnal ayah yang kutemukan disembarang tempat, mungkin aku tak pernah tahu dosa besar macam apa yang telah kamu dan keluargamu buat.”
“Lantas apa aku boleh buat? Kebutuhan manusia semakin kompleks.”
“akan beda cerita kita kalau kau meregenerasi itu sejak awal. Mungkin jika sebelum kau lahir lahan-lahan yang kau rusak diregenerasi, kita bisa melihat pohon-pohon itu meneduhi kita. Kuberi kau waktu tiga tahun lalu. Lalu apa kau perbuat? Tak ada lahan yang jadi baik saat ini. Semua itu omong kosong!”
Mendadak aku tidak dalam suasana mengepak. Barang-barang kurasa sudah cukup. Kulepaskan tangan itu dengan kasar.
“Disana pintumu. Keluar!” Adam memandangku lama. Aku tak peduli lagi bahkan pada tatapan mata nya yang putus asa. Mendadak aku rindu ayah. Jika aku tak pergi, mungkin besok lusa lahan dimana sejarah terakhir tentang ayahku akan digusur orang macam Adam. Pohon-pohon ditebangi, berganti pabrik, regenerasi tak jadi, gedung-gedung makin tinggi, tak ada tempat lagi bagi tumbuhan. Pokok yang ayahku perjuangkan hingga hilangnya ia beserta sejarahnya. Aku kehilangan ayah demi sesuatu yang ia perjuangkan. Menjaga ekosistem tumbuhan yang otomatis akan menjaga ekosistem yang lain. Manusia, hewan, dan alam semesta. Maka kepergianku ke Cianjur adalah demi meneruskan apa yang ayah perjuangkan. Mungkin itu juga yang akan mengantarkanku menemukan ayah.

Pagi – pagi sekali aku menemui makam ibuku. Berpamitan dan memohon restu. Dengan hati yang patah sekaligus keyakinan dan mimpi yang menguatkan aku. Dengan batu nisan aku berdialog. Lalu pergi sebelum mencapai klimaks. Tangis kutahan, sebelum aku berubah pikiran. Aku baru tahu betapa sesaknya mencapai mimpi itu. Mimpi ku dan ayah.

Jadi disinilah aku sekarang.
Masih di hutan alami pedalaman Cianjur. Meneliti satu-satu lembaran jurnal yang jadi warisanku satu-satunya. Eksplorasi besar-besaran telah ku lakukan. Lewat media cetak, elektronik dan segala bentuk media untuk melakukan penyuluhan dan membuka selebar-lebarnya mata. Aku tinggal di rumah yang konon dulu milik Firman, tokoh konservasi Indonesia yang namanaya tak sempat masuk sejarah. Keburu hilang dimakan mimpinya sendiri. Ayahku.

Kadang aku masih merindukan hal remeh soal cinta-cintaan dengan Adam. Dia masih mau merajai seluruh hutan terkonservasi maupun tidak. Masih serakah dan tak melakukan apa-apa. Seperti cintaku yang masih. Tapi aku sama sekali tak menyesal. Aku rindukan ayahku.

Aku belajar banyak, banyak sekali. Tentang bagaimana manusia berkorelasi dengan alam, menjaga keberlangsungan hidupnya. Tentang alam yang menjaga keberlangsungan hidup manusia. Menyuplai oksigen dan menetralisir O2 menjadi udara layak hirup ditengah pencemaran dimana-mana.

Aku tahu antara aku dan Adam masih ada cinta yang dipisahkan keegoisan masing-masing. Tidak, tidak. Aku tak egois, aku hanya berusaha membersihkan dosa besarnya dengan membantu memperbaiki apa yang ia rusak. Aku tahu selama masih ada aku ditempat dimanapun lahan yang hendak ia habisi, ia tak akan berani. Jadilah aku berpindah-pindah sesuai proyek perusahaannya.

Ku curi-curi data tentang eksekusi lahan, ku datangi tempat – tempat rawan gusur. Ku pelajari karakter dan sikap tumbuhan. Mana rela mati ditebang, mana akan murka jika dimusnahkan. Sudah lima tahun aku melakukan pekerjaan gila. Di biayai pemerintah demi mendapat jawaban dariku. Tentang mana – mana saja lahan dan pohon yang memiliki sikap rela mati.

Pernah suatu kali mereka tak menurut apa kataku lalu bencana datang. Hutan bogor gundul, banjir Jakarta kian meninggi. Tempat – tempat tak biasa banjir kebingungan menghadapi air yang datang memberi kejutan. Pabrik – pabrik tutup sementara, pabrik kertas milik Adam salah satunya. Mereka kapok tak menuruti kataku. Ucapanku bak ucapan seorang Ibu yang kelak jadi do’a. Tak ada lagi pelebaran lahan kelapa sawit. Yang ada hanya bagaimana cara mengoptimalkan produksinya.

Jalanku tak semulus itu. Kadang aku harus dimusuhi orang berduit yang menyogok pemerintah yang kasih ijin membabat tanaman sana sini. Sesulit itu di Indonesia yang wilayah nya tidak sampat 10% wilayah dunia.

Lahan – lahan dibabat habis diganti gedung – gedung tinggi berkaca berbahaya. Tak ada kata membabat gedung – gedung dan menggantinya dengan perkebunan pohon – pohon. Tumbuhan juga punya rasa. Ia bisa mendengar dan bertindak. Apa perasaan mereka melihat komunitas nya digerus terus – terusan?

Lagi – lagi perkara manusia adalah hal keegoisan. Mereka tak akan memikirkan hal – hal yang tak ada sangkut pautnya dengan kepentingannya sendiri. Pernah suatu kali aku di demo oleh masyarakat di pedalaman hutan kalimantan.

Hutan itu bersinggungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit. Pelebaran lahan jadi masalah utama. Perusahaan kelapa sawit itu tahu betul kelemahan manusia. Mereka mencampur adukan kerusakan lingkungan dengan kesejahteraan yang diperlukan halayak. Masyarakat mau menyetujui perluasan wilayah kelapa sawit demi perut mereka dan anak – anak yang lapar.
“Lalu apa kau bisa memberi kami makan sampai anak – anak kita besar?” ucap seorang kepala dusun langsung menuju ulu hatiku. Pertanyaan yang sama kuajukan juga pada diri. Aku tak cukup ilmu dan waktu. Waktuku tak banyak mencari solusi. Uangku tak cukup memberiku modal. Aku pergi dari perkampungan itu dan mencari banyak uang untuk membeli sejumlah babi, kerbau dan hewan ternak lainnya. Siang malam menjajakan proposal. Hingga terkumpul uangku.
Kubeli beberapa babi dan kerbau, kubuatkan kandang dan ilmu merawat hewan ternak. Beberapa masyarakat tak patuh solusiku. Penghasilan dari hewan ternak tak cukup membuat kenyang anak – anak dusun yang kepalang banyak. Dan sikap manusiawi yang tak pernah puas hanya dari hasil hewan ternak bergotong royong melakukan permohonan perluasan wilayah kepada pemerintah. Suasana jadi kacau ketika dihadapkan pada orang – orang lapar. Aku kehabisan ide.

Suatu sore kepala dusun menangkapku tengah merenung di aliran sungai. Mencari – cari ide sampai ke sela – sela otak terkecil. Aku tak pernah sedekat ini bertatapan langsung dengan pria menuju tua itu, dibalik kelopak tebal matanya, kumis putih dan rambut ikal sebahunya dia bermata teduh. Gerak geriknya menenangkan, mencerminkan seorang ayah. Aku jadi ingat lagi pria miliku yang seperti ini.
“kita memang tidak bisa memaksakan apa dimau.” Aku masih dengan posisi yang sama merasakan atmosfir seorang ayah.
“aku bukan tak sadar tentang kehidupan semesta. Dulu ada pria setuaku, badannya tegap. Dia teman baikku. Pekerjaannya sama sepertimu. Hidup berdampingan dengan alam. Tapi sekarang entah dimana.” Aku masih hanyut dan menunggu kalimat – kalimat berikutnya.
“Dia anak sebatang kara, pergi dari panti asuhan di pulau jawa. Dan kemari tanpa ilmu. Dulu alam kita tak sepeti ini. Kebun kelapa sawit belum sampai daerah sini. Masih hanya beberapa petak. Tapi manusia – manusia kota melihat lahan ini bak tambang emas. Mereka sadar bahwa lahan ini sumber kekayaan, keuasaan mereka. Diperluaslah perkebunan kelapa sawit ini. Sedangkan saya melihat hal itu bukan sesuatu yang bagus.” Dia menyalakan cerutu keduanya.
“tapi apa daya, saya tak punya alasan logis untuk menolak dan menghimbau desa. Akhirnya saya cerita soal kekhawatiran pada anak rantau itu. Semangatnya tinggi sekali. Dia pergi berbulan – bulan dan kembali dengan setumpuk buku dan segenggam ilmu. Suatu malam dia mengumpulkan warga desa, dengan gambar warna warni dia menjelaskan resiko – resiko perluasan lahan. Sampai akhirnya semua penduduk dusun sepakat untuk mendemo penolakan. Perluasan lahan berhasil di gagalkan. Anak rantau sebatang kara itu akhirnya saya jadikana anak, semua masyarakat dusun menghormatinya. Waktu itu umurnya baru duapuluhdua. Masa depannya seharusnya masih panjang. Apalagi dengan otak secemerlang dan semangatnya sepert itu tidak heran Firman dapat kerja di Papua.”
“Papua??” aku sekarang baru sadar orang yang ia biacarakan adalah ayahku. Seumur hidup dia jadi ayahku, aku tak pernah tahu kakinya pernah ada disini. Lalu jejaknya pergi menuju Papua.
“Iya, Papua. Kerja di pertambangan. Dia bilang akan sambil pelan – pelan memperbaiki rusaknya lingkungan akibat pertambangan adi daya itu. Mencari ilmu bilangnya.”
Cerutu itu ia hisap pelan – pelan demi mengulur waktu. Tembakau disini sangat berharga. Waktu diukur dengan satu dua batang rokok. Bertemu sapa di warung kopi perbatasan kampung. Melihat harga diri dari rokok. Ketika pria – pria yang kebanyakan sudah beranak itu menghabiskan satu bungkus rokok saat itu juga, pertanda dia sedang banyak duit. Baru gajihan atau menang judi. Semakin sedikit rokok yang mereka habiskan, semakin kita tahu kemapanan ekonomi mereka.
“tapi sekarang Firman sudah tak pernah kembali ke kampung. Dia membekali kami tentang resiko – resiko perusakan alam, tapi tidak cukup memberi ilmu tentang perubahan jaman, kenaikan harga dan kenaikan nafsu konsumtif manusia. Masyarakat yang beranak pinak itu beranak lagi. Regenerasi. Orang – orang dulu sudah mengikuti orang – orang sekarang. Orang – orang tua tidak punya pakem. Sama halnya dengan saya. Idealisme anak laki – laki pungutan saya melonggar. Perut – perut lapar lebih nyaring kedengaran dibanding setumpuk ilmu yang di amalkan. Sulit, nak.”
Aku mengilhami betul kata – kata kepala dusun ini. Sulit. Ya sangat sulit membuat orang – orang tetap sadar bahwa ekosistem dunia perkara tumbuhan sangat berkorelasi dengan keberlangsungan hidup umat manusia. Kalau bencana sudah dimana – mana, kemana kita bisa pulang?

Sambil aku mengeluarkan setumpukan kertas buram dengan banyak warna. “ya, semua orang berpegangan pada perut – perut lapar, tembakau dan keserakahan. Dulu aku diajarkan ayahku mencintai alam seperti mencintai anak sendiri. Meskipun rahimku belum mengeluarkan sekepala anak yang ku kandung, tapi kasih sayang ayah pada anaknya sangat kurasakan benar – benar.” Kepala dusun itu setenga menganga. Matanya menelanjangi kertas – kertas yang kupegang.
“Pak....” setengah meraung aku berkata – kata.
“apa bisa diperbuat jika manusia tak lagi mencintai alamnya seperti anak sendiri. Apa bisa diperbuat jika ternyata seorang ayah lebih mencintai perutnya yang lapar ketimbang alam yang katanya seperti anak?”
Lalu yang kuingat kepala dusun itu menatapku lama. Matanya berkaca, cerutunya jatuh. Dan yang kutahu dia pergi dengan malu.
Bagaimana tidak, jika aku jadi dia, akupun malu. Panjang lebar menceritakan soal anak pungut kebanggaannya. Lalu keteguhannya luntur seirama dengan hilangnya laki – laki bernama Firman. Kepala dusun itu yang mengajarkan ayahku tentang pentingnya lingkungan, hingga ayahku berlari sejauh ini. Kepala dusun adalah pakem ayahku. Tapi apa mau berbuat jika pakem ayahku pun sudah melonggar dari pegangannya. Jika raga ayahku masih terlihat sekarang, apa ayah juga akan melonggar dari pegangannya seperti kepala dusun itu? Berlama – lama aku merenung tak juga kutemukan ide. Masyarakat dusun tetap banyak menolak memelihara ternak. Kesejahteraan duniawi yang diberikan perusahaan sawit itu mengalahkan kesejahteraan rohani jangka panjang.
Esoknya aku pulang dengan kekalahan. Kubeli lagi beberapa babi sebagai haidah pada beberapa masyarakat yang mengikuti arahanku.
Aku kembali kesini, delapan bulan lalu. Kemanapun kakiku melangkah, jalanku pulang adalah kesini. Cianjur. Dua bulan setelah kepulanganku perluasan lahan sawit sesuai rencana. Beberapa bulan berselang, kampung yang pernah kuinjak tanahnya sekarang rata dengan tanah. Tergerus banjir bandang. Pemerntah melakukan investigasi palsu, mencari alasan pura – pura. Mengalihkan sebab dari perluasan kelapa sawit ke tanggul yang sengaja dirobohkan sebagai kambing hitam alasan banjir bandang.

Aku pergi kemanapun proyek pembanyaian lahan dan perusakan lingkunga terjadi. Berdialog dengan satu – persatu pohon, mempertimbangkan perasaannya dan menyelidiki resikonya. Terutama proyek – proyek adi daya kerajaan perusahaan adam. Selama kakiku masih menginjak tanah dimanapun proyek hendak dilakukan, aku tahu Adam tak akan berani berbuat. Menjadi kuat kadang terlalu melelahkan.

Kita tak selalu menang, dan aku sering kalah. Mungkin nilai kemenanganku terlalu tinggi. Aku baru akan menang ketika manusia cukup puas dengan apa yag sudah mereka rusak hari ini. Tak perlulah regenerasi jika pembantaian ekosistem, pencemaran udara, penebangan pohon dengan jumlah yang konsisten. Tanggung jawab dan amanah ayahku akan lebih mudah dijalani. Aku lelah dan terlalu kecewa terhadap semua yang telah ayah dan aku usahakan selama ini. Maka aku hanya akan hidup sederhana, dengan tanggung jawab maha daya, wujud cinta maha besar terhadap yang telah kita miliki saat ini. Mengeyampingkan hal – hal remeh yang menyinggung jalanku. Cinta maha daya sekarang bertuan pada alam semesta, sedangkan cinta adam dan hawa biarlah semesta punya rencana tentang bagaimana sepasang mata bisa saling menemukan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar